Oleh: Gilang Pradana Nugraha
Musim hujan tahun ini rasanya lebih panjang dari musim hujan
tahun kemarin. Musim hujan di kota ini menimbulkan banyak kekalutan. Bila hujan datang secara konstan, ia akan memberi ancaman serius bagi warganya.
Kita sudah sama-sama tahu jika musim hujan tiba penduduk Jabodetabek dihinggapi
kekhawatiran akan hadirnya banjir dihadapan mata. Jika sudah begitu hanya
ada satu upaya yang dapat dilakukan warga, yaitu bergegas menuju tempat yang
tak tergenangi banjir. Orang-orang yang ada di Jakarta akan dilanda cemas jika
tanggul Katulampa Bogor jebol, dan itu sudah terjadi, tak terhitung berapa
kerugian yang diakibatkannya. Tak terkecuali bagi warga Muara Gembong, Bekasi,
Jawa Barat, yang jauh dari hingar bingar Kota Bekasi, terletak di antara
reruntuhan kekayaan alam, peradaban, dan kebudayaan kota Bekasi yang hampir nir-identitas. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah setempat
untuk menghalau banjir sepertinya tidak membawa perubahan yang diharapkan.
Muara Gembong dikelilingi oleh lahan perairan laut Jawa yang
luas dan terhimpit di antara Jakarta Utara dengan Kabupaten Karawang. Sebagian
besar penduduk Muara Gembong bermatapencaharian sebagai nelayan, menangkap
ikan, kepiting dan juga udang. Kecamatan ini terdiri dari enam desa, Jayasakti,
Pantai Mekar, Pantai Sederhana, Pantai Bahagi, Pantai Bakti, dan Pantai Harapan
Jaya. Kawasan pemukiman penduduk pinggir laut didominasi oleh lahan perairan.
Tambak perikanan yang mencakup lahan menjadi mata pencaharian utama. Sisanya
bekerja dengan menjadi petani darat atau mengelola lahan pertanian kering. Dan
di musim hujan ini, mereka, warga Muara Gembong, sedang ditandangi bencana. Banjir
rob telah meluluhlantak tanggul Muara Citarum yang menjadi benteng harapan
warga, akibatnya sebagian besar rumah penduduk hanyut, rusak parah. Ironisnya,
tak banyak media arus utama yang meliput situasi dan kondisi yang ada di Muara
Gembong saat itu bahkan hingga kini.
Oleh karena itu sebagian dari pengurus Malam Puisi Bekasi
pada hari ini, tepatnya siang tadi, berinisiatif menyambangi dan menyalurkan
bantuan untuk penduduk salah satu desa yang ada di Muara Gembong, desa Pantai
Sederhana, bantuan itu kami dapat dari partisipan acara Malam Puisi Bekasi yang dihelat tadi
malam. Memang tidak terlalu banyak dana yang terkumpul namun paling tidak mampu meringankan penderitaan
sebagian warga yang ada di sana. Dana yang terkumpul itu kami tukar dengan logistik yang diperlukan.
Membutuhkan waktu kurang lebih dua setengah jam dari Kota untuk sampai di lokasi bencana. Sepanjang perjalanan ada rasa kekaguman sekaligus keheranan
yang timbul dalam diri saya. Kekayaan alam yang terhampar luas nan indah
dihadapan mata seolah tidak terhubung sama sekali dengan warga Muara Gembong. Hal
ini menimbulkan pertanyaan bagi diri saya, kemanakah hasil dari pertanian yang
begitu melimpah ruah itu bermuara? Selain pertanian yang melimpah itu,
tanah yang berada di sana juga mengandung minyak mentah yang apabila dikelola
dengan maksimal maka sulit untuk menemukan warga miskin yang tidak bersekolah. Sepanjang
mata memandang jarang saya menemukan sekolah yang berdiri penuh bangga di sana,
tidakkah ini menandakan peradaban yang mundur? Bukankah ini mengherankan
mengingat Kota Bekasi sendiri berdekatan dengan ibu kota Jakarta yang
diasumsikan sebuah kota modern yang maju nan "beradab". Muara Gembong memang tidak termasuk ke dalam wilayah Kota Bekasi melainkan Kabupaten namun haruskah diperlakukan demikian?
Pada 27
Januari lalu koran Tempo menyebut, penyebab banjir di Muara Gembong adalah Pembalakan Liar hutan mangrove. Kami memang melihat mangrove yang berbaris indah ditambah ilalang subur berjejer menggenapi keindahan pemandangan alam. Namun banjir rob di wilayah itu semakin meluas seiring berkurangnya mangrove. Pada 1998, hutan mangrove di Kecamatan Muara Gembong mencapai 1.500
hektar. Akibat pembalakan oleh perusahaan minyak untuk
pengeboran dan pertambakan, saat ini tinggal 100 hektar. Pada 2012 lalu masih
tersisa 400 hektar. Maka banjir pun semakin meluas cakupannya. Kami harap pemerintah setempat berniat serius untuk mengurusi warganya terutama di masa "bencana" seperti saat ini dan yang paling penting: waras! Amin.