Rabu, 12 Februari 2014

Yang Terlupakan Tak Akan Kami Lupakan: Perjalanan


Gilang, Tino, dan Ega sedang membelanjakan hasil penggalangan dana Malam Puisi Bekasi yang dihelat pada 8 februari lalu. Dana yang terkumpul sebesar Rp.975.000,- disumbangkan untuk korban banjir di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi.


Tim Malam Puisi Bekasi, Volunteer Muara Gembong, dan beberapa warga Muara Gembong berpose bersama #Begayo


Perjalanan menuju Muara Gembong diiringi rintik hujan yang membuat jalanan becek, serupa jalur off road, yesss!? :D

tampak senja yang indah memberkati perjalanan kami

pemandangan senja yang indah sepanjang perjalanan menuju Muara Gembong, kami menyebutnya: komposisi puitis! #Ceileeee


  Inilah penampakkan tanggul Muara Citarum yang jebol dihantam derasnya aliran sungai yang bertukar menjadi banjir rob


Warga Muara Gembong sampai saat ini masih membutuhkan perhatian kita semua dan terutama bantuan berupa sandang, pangan, dan sejenisnya. Semoga pemerintah setempat dapat lebih peka dalam melihat situasi sosial dan bencana di sekitarnya.


Salam,
Admin

Minggu, 09 Februari 2014

Hujan dan Muara Gembong

Oleh: Gilang Pradana Nugraha

Musim hujan tahun ini rasanya lebih panjang dari musim hujan tahun kemarin. Musim hujan di kota ini menimbulkan banyak kekalutan. Bila hujan datang secara konstan, ia akan memberi ancaman serius bagi warganya. Kita sudah sama-sama tahu jika musim hujan tiba penduduk Jabodetabek dihinggapi kekhawatiran akan hadirnya banjir dihadapan mata. Jika sudah begitu hanya ada satu upaya yang dapat dilakukan warga, yaitu bergegas menuju tempat yang tak tergenangi banjir. Orang-orang yang ada di Jakarta akan dilanda cemas jika tanggul Katulampa Bogor jebol, dan itu sudah terjadi, tak terhitung berapa kerugian yang diakibatkannya. Tak terkecuali bagi warga Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat, yang jauh dari hingar bingar Kota Bekasi, terletak di antara reruntuhan kekayaan alam, peradaban, dan kebudayaan kota Bekasi yang hampir nir-identitas. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah setempat untuk menghalau banjir sepertinya tidak membawa perubahan yang diharapkan.

Muara Gembong dikelilingi oleh lahan perairan laut Jawa yang luas dan terhimpit di antara Jakarta Utara dengan Kabupaten Karawang. Sebagian besar penduduk Muara Gembong bermatapencaharian sebagai nelayan, menangkap ikan, kepiting dan juga udang. Kecamatan ini terdiri dari enam desa, Jayasakti, Pantai Mekar, Pantai Sederhana, Pantai Bahagi, Pantai Bakti, dan Pantai Harapan Jaya. Kawasan pemukiman penduduk pinggir laut didominasi oleh lahan perairan. Tambak perikanan yang mencakup lahan menjadi mata pencaharian utama. Sisanya bekerja dengan menjadi petani darat atau mengelola lahan pertanian kering. Dan di musim hujan ini, mereka, warga Muara Gembong, sedang ditandangi bencana. Banjir rob telah meluluhlantak tanggul Muara Citarum yang menjadi benteng harapan warga, akibatnya sebagian besar rumah penduduk hanyut, rusak parah. Ironisnya, tak banyak media arus utama yang meliput situasi dan kondisi yang ada di Muara Gembong saat itu bahkan hingga kini.

Oleh karena itu sebagian dari pengurus Malam Puisi Bekasi pada hari ini, tepatnya siang tadi, berinisiatif menyambangi dan menyalurkan bantuan untuk penduduk salah satu desa yang ada di Muara Gembong, desa Pantai Sederhana, bantuan itu kami dapat dari partisipan acara Malam Puisi Bekasi yang dihelat tadi malam. Memang tidak terlalu banyak dana yang terkumpul namun paling tidak mampu meringankan penderitaan sebagian warga yang ada di sana. Dana yang terkumpul itu kami tukar dengan logistik yang diperlukan.

Membutuhkan waktu kurang lebih dua setengah jam dari Kota untuk sampai di lokasi bencana. Sepanjang perjalanan ada rasa kekaguman sekaligus keheranan yang timbul dalam diri saya. Kekayaan alam yang terhampar luas nan indah dihadapan mata seolah tidak terhubung sama sekali dengan warga Muara Gembong. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi diri saya, kemanakah hasil dari pertanian yang begitu melimpah ruah itu bermuara? Selain pertanian yang melimpah itu, tanah yang berada di sana juga mengandung minyak mentah yang apabila dikelola dengan maksimal maka sulit untuk menemukan warga miskin yang tidak bersekolah. Sepanjang mata memandang jarang saya menemukan sekolah yang berdiri penuh bangga di sana, tidakkah ini menandakan peradaban yang mundur? Bukankah ini mengherankan mengingat Kota Bekasi sendiri berdekatan dengan ibu kota Jakarta yang diasumsikan sebuah kota modern yang maju nan "beradab". Muara Gembong memang tidak termasuk ke dalam wilayah Kota Bekasi melainkan Kabupaten namun haruskah diperlakukan demikian?

Pada 27 Januari lalu koran Tempo menyebut, penyebab banjir di Muara Gembong adalah Pembalakan Liar hutan mangrove. Kami memang melihat mangrove yang berbaris indah ditambah ilalang subur berjejer menggenapi keindahan pemandangan alam. Namun banjir rob di wilayah itu semakin meluas seiring berkurangnya mangrove. Pada 1998, hutan mangrove di Kecamatan Muara Gembong mencapai 1.500 hektar. Akibat pembalakan oleh perusahaan minyak untuk pengeboran dan pertambakan, saat ini tinggal 100 hektar. Pada 2012 lalu masih tersisa 400 hektar. Maka banjir pun semakin meluas cakupannya. Kami harap pemerintah setempat berniat serius untuk mengurusi warganya terutama di masa "bencana" seperti saat ini dan yang paling penting: waras! Amin.